English Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Selamat Datang di Fery Indrawanto`s Blog...Terima Kasih Atas Kunjungannya!!

ASPEK YURIDIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT KOTA TANGERANG DENGAN PABRIK TEKSTIL (PATEKS)

Lingkungan hidup merupakan bagian dari manusia yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, oleh karena itu maka lingkungan hidup harus diupayakan agar bisa lestari selain itu juga lingkungan hidup merupakan sebagai tempat manusia mengantungkan kehidupannya dengan mengambil manfaat dari lingkungan sekitarnya.
Untuk itu maka pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang pada umumnya dan khususnya bagi warga negarannya maka dalam melestarikan lingkungan hidup dengan melalui Undang Undang Dasar 1945 direalisasikan dalam pasal 28 H ayat 1 yang berbunyi :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Sesuai dengan bunyi ayat tersebut berarti pemerintah berusaha mengaktualisasikan hak asasi manusia dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, karena dengan adanya lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti juga mencerminkan kesehatan bagi masyarakat yang hidup dalam lingkungan hidup tersebut dalam hal ini alam dan sekitarnya di mana  manusia tinggal di dalamnya.
            Dalam melaksanakan pasal 28 H (1) dalam Undang Undang Dasar 1945 tersebut maka pemerintah membentuk suatu undang undang mengenai lingkungan hidup yaitu Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan juga undang undang tentang kesehatan yaitu Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang didalamnya mengatur mengenai kesehatan lingkungan. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif industrialisasi yang salah satunya berupa kerusakan lingkungan melalui pembuangan limbah pabrik-pabrik yang akan mengakibatkan polusi dan pencemaran lingkungan.
Adanya dampak negatif dari industrialisasi yang akan mengakibatkan rusaknya lingkungan  melalui polusi dan pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan mengakibatkan juga dampak buruk mengenai kesehatan masyarakat. Karena kondisi lingkungan masyarakat yang rusak tentunya kesehatan lingkungan juga akan terganggu sehingga menjadikan kesehatan masyarakat menurun.
 Akibat kesehatan lingkungan masyarakat tergangu atau rusak akibat industrialisasi ini maka rentan akibatnya terjadi konflik antar pelaku industri dengan masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal disekitar daerah industi tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya kasus konflik antara masyarakat kota Tangerang dengan pabrik tekstil  (PATEKS), pada konflik ini masyarakat sekitar kali Sabi merasa dirugikan akibat limbah cair yang dibuang ke kali atau sungai yang diduga pembuangan limbah cair yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh PATEKS tersebut.
Denganadanya konflik tersebut diatas maka pemerintah sebagai lembaga pengatur sekaligus pengambil kebijakan dituntut harus dapat menyelesaiakn sengketa yang terjadi pada kota Tangerang tersebut, sehingga dengan demikian peranan peranan pemerintah sebaga regulator melalui undang undang yang telah ada harus bisa menyelesaikan konflik yang terjadi antara masyarakat kota Tangerang dengan pabrik tekstil  (PATEKS) tersebut.
 Permasalahan :
1.      Bagaimana peran pemerintah dalam menyelesaikan kasus  konflik yang terjadi antara masyarakat kota Tangerang dengan pabrik tekstil  (PATEKS) tersebut ?
2.      Bagaimana aspek yuridis dalam kasus  konflik yang terjadi antara masyarakat kota Tangerang dengan pabrik tekstil  (PATEKS) tersebut ?
Pembahasan :
Berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi ini dapat kita sebut diantaranya menipisnya lapisan ozone, pencemaran air, pencemaran udara, dan sebagainya.  Berbagai kerusakan itu tidak hanya menyebabkan bumi ini  tidak terasa nyaman tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomis seperti menurunya produk pertanian, kerusakan tambak, tercemarnya sumur penduduk, menipisnya sumber-sumber daya alam dan kerusakan hayati yang lain selain manusia.
Berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan ini menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada manusia, sehingga pada titik yang paling ekstrim kerusakan lingkungan itu akan menyebabkan terancamnya keberlanjutan aktivitas manusia yang pada gilirannya menyebabkan terancamnya  eksistensi manusia itu sendiri.
Berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan itu muncul akibat aktivitas manusia seperti reklamasi, industri, transportasi, perumahan, jalan, pelabuhan, pertanian dan berbagai kegiatan lainnya. Dapat dikatakan bahwa kegiatan itu pada satu sisi menguntungkan  sebagian orang  (pemrakarsa kegiatan atau beberapa orang lainnya) tetapi pada sisi yang lain merugikan banyak orang terutama mereka yang terkena dampak buruk,. Disatu sisi memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, pada sisi lain menimbulkan kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang lain.[1]
Adapun permasalahan lingkungan ini juga terjadi pada pabrik PATEKS yang berlokasi di Jl. Kali Sabi, Kelurahan Jati, Kota Tangerang. Masyarakat di sekitar Kali Sabi merasa dirugikan akibat limbah cair yang diduga muncul dari kegiatan PATEKS di sepanjang Kali tersebut. Pencemaran ini telah lama terjadi sehingga apabila dibiarkan dikhawatirkan dapat menimbulkan efek jangka pendek maupun jangka panjang bagi penurunan kualitas kesehatan masyarakat, dan terancamnya kelestarian biota air. Masyarakat berinisiatif melaporkan kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang untuk dapat menyelesaikan masalah pencemaran tersebut.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang kemudian menugaskan Kepala Seksi Analisa dan Evaluasi selaku penyidik PNS dibidang Lingkungan untuk melakukan pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP). Ditemukan bahwa telah terjadi pencemaran air di Kali Sabi oleh limbah cair yang berwarna merah keungu-unguan, panas dan berasap yang keluar dari bangunan pabrik milik PATEKS.[2]
Pada contoh kasus pencemaran lingkungan tersebut tentunya banyak berdampak negatif dari pada positifnya, dimana yang sebelumnya Kali Sabi bebas dari polusi namun setelah ada pabrik PATEKS beroperasi dari hasil investigasi Kepala Seksi Analisa dan Evaluasi selaku penyidik PNS dibidang Lingkungan ditemukan bahwa telah terjadi pencemaran air di Kali Sabi oleh limbah cair yang berwarna merah keungu-unguan, panas dan berasap yang keluar dari bangunan pabrik milik PATEKS. Hal ini bila dicermati tentunya akan berdampak negatif terhadap biota air dan manusia yang hidup dengan memanfaatkan dari sungai Kali Sabi tersebut.
Secara ekonomis industri akan memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan perekonomian, namun di sisi lain akan mengakibatkan kerugian di pihak lingkungan alam sehingga bila faktor lingkungan alam rusak tentunnya juga akan berakibat kerugian bagi masyarakat atau manusia tersebut oleh sebab itu hal demikian akan menjadi sebuah delimatis yang berkepanjangan. Untuk itu kasus konflik lingkungan ini dapat ditinjau dari aspek yaridis sebagai berikut :

1. Tinjauan Yuridis Kesehatan Lingkungan
 Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagai mana dimaksud dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 pada pasal 28 H ayat 1, adapun kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mewujudkan kondisi keadaan sehat tentunnya harus didukung dengan kondisi lingkungan yang sehat. Dalam mewujudkan kondisi lingkungan yang sehat tentunya harus mendapat dukungan dari berbagai pihak khususnya masyarakat yang berada di sekitar lingkungan tersebut, hal ini sesuai dengan pasal 10 Undang Undang  No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi :
“Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.”

Dari bunyi pasal tersebut berarti bahwa kondisi lingkungan yang sehat merupakan hak setiap orang oleh sebab itu maka dalam rangka mewujudkan kondisi lingkungan yang sehat adalah kewajiban bagi setiap orang, hal ini berarti melibatkan seluruh manusia khusunya warga yang berada disekitar lingkungan tersebut. Oleh karena itu peranan pemerintah disini bukan semata mata yang dapat menyelesaikan sendiri masalah lingkungan melainkan juga memerlukan peranan dari berbagai pihak. Dalam konflik antara masyarakat kota Tanggerang dengan pabrik tekstil PATEKS tersebut ternyata dibutuhkan perana pihak ketiga yang dalam hal ini adalah pemerintah.
Apabila dilihat dari perspektif penegakan hukum lingkungan,  Pemerintah memang diberikan amanat untuk menghimpun dana bagi pelestarian lingkungan sebagaimana tertuang dalam pasal 8 (e) Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan bahwa dalam melaksanakan kewenangan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan Peraturan Perundang Undangan yang berlaku. Pasal tersebut sampai saat ini belum bisa diimplementasikan. Konsep yang sudah lama yang dikembangkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup adalah mengenakan discharge fee (denda) bagi industri yang membuang limbah melebihi ambang batas. Gagasan ini merupakan bentuk disinsentif terhadap industri yang tidak patuh. Perdebatan dalam penyusunan draft peraturan ini berkisar pada kesulitan teknis mengkuantifikasi pencemaran dalam besaran rupiah.
Di samping itu dengan memungut denda bagi pencemar seolah-olah melegalkan industri untuk membuang limbah di perairan umum di atas ambang batas. Hal ini bertentangan dengan kaidah lingkungan bahwa semua kegiatan baru boleh berjalan jika disertai dengan pengelolaan lingkungan. Dalam Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 47 bahkan disebutkan bahwa perbuatan yang mengakibatkan pencemaran itu bisa dijerat dengan sanksi pidana. [3] Untuk itu maka dalam permasalahan ini yang diangkat adalah mengenai tinjauan yuridis konflik antara masyarakat kota Tangerang dengan Pabrik Tekstil (PATEKS) serta penyelesaiannya.
2.  Penyelesaian Konflik Lingkungan
Kasus pencemaran lingkungan yang terjadi pada sungai Kali Sabi yang diakibatkan oleh pembuangan limbah  dari pabrik PATEKS  yang berlokasi di Jl. Kali Sabi, Kelurahan Jati, Kota Tangerang tersebut sebnarnya telah melakukan pelanggaran terhadap Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup hal ini sebenarnya sudah masuk dalam ketentuan pidana tetapi kenyatanya kasus ini sulit untuk dipidanakan.
Penegakan hukum lingkungan dalam beerbagai kasus pencemaran dan perusakan lingkungan melalui instrument hukum pidana lingkungan dinilai lemah. Hal ini disebabkan oleh kompleksnya aspek yang muncul dalam proses penagakan hukum lingkungan. Dalam hal ini persoalan utama tidak disebabkan oleh faktor bukti semata, tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor lain di luar lingkungan, yakni faktor politik, sosial, dan ekonomi. Penanganan pencemaran menjadi problem pelik dan perlu upaya penanganan lintas serktoral.
Dalam hukum lingkungan pengajuan tuntutan melalui jalur pidana dimungkinkan setelah pendekatan penyelesaian melalui hukum administrasi negara dan hukum perdata ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah lingkungan. Kejahatan lingkungan berupa pencemaran lingkungan dikategaorikan sebagai tindak pidana administratif  (administrative penal law) atau tindak pidana yang menggangu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Tindak pidanan tersebut telah diatur dalam Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Mengingat persoalan lingkungan sudah sedemikian mengkhawatirkan, menurut Hamzah ketentuan sanksi pidana terhadap pencemaran lingkungan harus diubah dari ketentuan yang sifatnnya ultimum remidium, yang menganggap bahwa pelanggaran hukum lingkungan belum merupakan persoalan yang serius menjadi premium remidium yang menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen yang diutamakan dalam menangngani tindak perbuatan pencemaran atau perusakan lingkungan. Pillihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan terhadap burung atau binatang yang dilindungi. Perbaikan atau pemulihan kerusakan termasuk tidak dapat dilakukan secara fisik. Demikian juga Loby Loeqman berpendapat sama dan tampaknya pendapatnya tidak terakomodasi dalam Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup karena undang-undang tersebut masih menjadikan ketetntuan sanksi pidana sebagai ultimum remidium.
Dalam perumusan tindak pidana lingkungan, hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial, baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan oleh kerusakan tersebut sering kali tidak seketika timbul dan tidak dingan mudah pula untuk dikuantifikasi. Sehubungan dengan itu untuk generic crime yang relatif berat, sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal ini akibatnya merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namun demikian, untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crime) yang melekat pada hukum administratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan. Sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana tersebut dapat mencakup perbuatan sengaja (dolus knowingly), sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis, reklesnees) dan kealpaan (culpa, negligence).[4]
Dengan demikian tapamaklah jelas bahwa pelanggaran terhadap Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sangatlah sulit untuk diselesaikan secara pidana karena terkait dengan berbagai kepentingan, yang meliputi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Akan tetapi walaupun penyelesaian sengketa diluar ranah hukum sekarang telah ada, penyelesaikan melaluai suatu lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa (mediator) lingkungan hidup hal ini sesuai dengan PP 54 tahun 2000, hal ini sering dikatakan sebagai ADR (Alternative Disspute Resolution).
Secara legal, media perundingan diatur dalam pasal 30-33, Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini sekaligus merupakan kelebihan dari UU 23 tahun 1997 dibangding UU No 4 tahun 1982 dimana pada UU yang lama ini tidak memberi tempat bagi ADR. Pada pasal 30 (3), Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat di tempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Kemudian pasal 33, disebutkan bahwa Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak. Ketentuan pasal 33 diatas kemudian ditindaklanjuti  dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah no.54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup.  PP 54 tahun 2000 dimaksudkan agar pendayagunaan ADR dalam pemecahan konflik lingkungan dapat tumbuh secara luas. Serta memberikan kesempatan baik instansi pemerintah maupun masyarakat untuk membentuk lembaga penyedia jasa  penyelesaian sengketa lingkungan.[5] 
 Penutup :
Dari kasus konflik antara masyarakat Kota Tangerang dangan Pabrik Tekstil (PATEKS) ternyata sumber konflik adalah limbah cair yang keluar dari saluran pembuangan pabrik PATEKS yang mencemari air di Kali Sabi. Masyarakt menginginkan agar masalah pencemaran air ini segera diatasi guna menghindari efek jangka panjang . Jalur musyawarah akhirnya dipilih sebagai alternatif yang pertama dan jalur hukum merupakan alternatif yang terakhir. Kemudian para pihak sepakat dan bersedia untuk berunding, dan Dinas Lingkungan Hidup bertindak sebagai mediator, hal ini berarti ADR telah dijalankan.
Secara yuridis penyelesaian konflik dailakuakan secara musyawarah untuk mufakat namun apabila jika tidak dapat diselesaikan maka jalur hukum atau pengadilan adalah jalur yang terakhir sebelum dilakukannya ADR
Adapun hasil kesepakatan dari musyawarah tersebut menghasilkan persetujuan bersama yang berisi :
  1. Pabrik PATEKS akan berupaya memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang lingkungan hidup, sehingga limbah cair yang dibuang ke Kali Sabi dampaknya dapat diminimalisir.
  2. Masyarakat akan berupaya menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pencemaran/perusakan lingkungan yang dilakukan oleh pabrik PATEKS secara musyawarah dan mufakat yang difasilitasi Dinas Lingkungan Hidup sepanjang tidak melakukannya secara berulang-ulang sehingga mengancam kelestarian lingkungan.
  3. Apabila dalam penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan dugaan pencemaran/perusakan lingkungan yang dilakukan pabrik PATEKS  menemui jalan buntu, maka penyelesaiannya tidak akan dilakukan dengan jalan kekerasan (tidak melakukan tekanan-tekanan, ancaman, provokasi, perusakan fasilitas-fasilitas milik perusahaan, mengerahkan massa dan lain-lain) akan tetapi diserahkan kepada instansi yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dan apabila salah satu pihak melanggar kesepakatan ini, maka bersedia menanggung konsekuensi hukum yang berlaku.
 Daftar Pustaka :
Anies, Penyakit yang Diakibatkan  Bahan Berbahaya  dan Beracun (B3), Materi Kuliah Magister Hukum Kesehatan, Untag, Semarang, 2010.
Absori, Penegakan Hukum Lingkungan Pada Era Reformasi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8,No. 2, September 2005.
Sudharto P.Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan Penerbit  Universitas Diponegoro , Semarang,  2006.
Sudharto P. Hadi, Manusia dan Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009.
Sudharto P.Hadi & FX. Adji Samekto, Dimensi Lingkungan Dalam Bisnis,  Badan Penerbit Universitas Diponegoron, Semarang, 2007.


[1] Sudarti P. Hadi, Manusia dan Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1009.
[2] Sudharto P.Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm. 140
[3]Sudharto P.Hadi & FX. Adji Samekto, Dimensi Lingkungan Dalam Bisnis,  Badan Penerbi Universitas Diponegoro , Semarang,  2007, hlm. 48-49.
[4] Absori, Penegakan Hukum Lingkungan Pada Era Reformasi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8,No. 2, September 2005, hlm. 223-225.
[5] Sudharto P.Hadi, loc.cit, hlm. 32 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger